Jumat, 04 September 2015

Kampung Naga dalam Menjaga Hutan



Berikut adalah cerita pengalaman liburan dari salah pemenang kompetisi menulis IWITA “Abadikan Saat Indah” 
-capture the moment, the value of experience and the best way to see the beauty of Indonesia-

Bernama Yulia Rahmawati dengan judul tulisan Kampung Naga dalam Menjaga Hutan
  

Kampung Naga dalam Menjaga Hutan



Saya sendiri mendengar Kampung Naga sudah lama, kampung yang menghadirkan tradisi yang menghormati alam dan lingkungan. Kehidupan masyarakat yang sangat mengikuti tradisi dan adat Sunda. Perjalanan ke Kampung Naga sangatlah mudah, karena letaknya dekat jalan raya kabupaten. Minggu lalu saya berkesempatan mengunjungi kampung ini, kami naik kendaraan pribadi dari arah Tasikmalaya. Dari arah Singaparna, ibukota Kabupaten Tasikmalaya, kami menuju Salawu. Kampung ini ditandai dengan gerbang kampung yang bertuliskan Kampung Naga. Kami langsung menuju tempat parkir, tidak berapa lama datang pemandu wisata yang menawarkan pilihan berjalan keliling sendiri atau menggunakan guide.

Untuk jalan sendiri, pemandu mengatakan bahwa ada hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika berada di dalam kampung, yaitu memotret Imah Gede. Imah Gede adalah rumah atau tempat berkumpulnya para pemuka adat bila ada perayaan adat. Dalam setahun, ada 6 kali perayaan adat. Tempat pusat perayaan tersebut berada di Imah Gede. Mendengar penjelasan dari pemandu, maka kami memilihnya untuk memandu kami. Maka, dia pun memberi penjelasan dari mulai tugu kujang yang berada di tempat parkiran.

Kujang tersebut sudah berumur lama, dan satu dari seratus kujang yang ada. Kujang ini dibersihkan di Keraton Mataram. Awalnya, kujang ini akan disimpan di dalam kampung, namun ketua adat tidak mengijinkannya, maka kujang tersebut berada di dekat gerbang luar kampung. Berdiri tegak sebagai pusaka sejarah, menyambut para wisatawan yang datang ke kampung ini. Berjejer toko-toko souvenir dan makanan di pinggir parkiran.Kami masih berada di luar wilayah kampung adat, karena untuk menuju ke sana harus melalui 400 lebih tangga. Iya, Kampung Naga ini berada di dalam lembah. Dengan sungai Ciwulan yang mengalir, melingkari hutan larangan dan hutan keramat. Hamparan sawah terairi dari selokan yang airnya mengalir deras meskipun musim kemarau.




Setelah menuruni 400 lebih tangga, kami disuguhi hamparan sawah yang sedang hijau. Padi yang tumbuh tinggi adalah padi organik, sedangkan yang masih kecil adalah padi berpupuk orea. Luas kampung adat ini tidak berubah. Dan setiap penduduk kampung mengetahui batas tanahnya, tanpa meski ada patok atau tanggul tanda batas tanah. Saling percaya dan kerjasama ini merupakan ciri khas dari Kampung Naga.
Kampung ini memiliki dua hutan, yaitu hutan keramat dan hutan larangan. Hutan keramat merupakan hutan yang bila masuk ke dalamnya atas ijin ketua kampung. Di dalamnya ada banyak kuburan leluhur kampung. Adapun hutan larangan, sama sekali tidak ada yang bisa masuk, sekalipun ketua adat harus dengan syarat tertentu. Hutan larangan ini menjadi hutan yang terjaga dari tangan manusia. Ranting yang jatuh pun tidak boleh diambil, apalagi dipatahkan.
Ada satu hal yang menjadi penetapan keterjagaan lingkungan alam Kampung Naga adalah kepatuhan pada adat. Pamali, adalah kata yang sakral dan tidak boleh dilakukan oleh siapa pun. Sekali pamali, maka tidak boleh dilakukan. Pelarangan atau pamali ini lahir secara turun temurun menjadi kesadaran warga untuk menjaga lingkungan.


Kesadaran dan kearifan lokal yang terus dijaga dalam menegakkan berdirinya pohon-pohon pada tempatnya. Pernah ada yang mematahkan ranting hutan larangan yang jatuh ke luar area hutan, dia menderita dan sakit. Bukan penduduk kampung yang menghukum pelanggar norma adat, tetapi perbuatan orang tersebut yang menyebabkan orang tersebut mendapatkan musibah. Demikian kata pemandu ketika kami menelisik akan orang yang melanggar ketetapan adat. Ketika tradisi sudah menjadi asing, kebiasaan menjaga alam menjadi sudah tidak ada, maka kehidupan berkearifan budaya dalam menjaga alam dan lingkungan menjadi aneh dan tontonan.

Ketika kajian budaya hanya menjadi wacana, kehidupan warga pun tetap tergerus oleh arus globalisasi zaman. Pembelajaran dan pemberdayaan lingkungan alam, semoga bukan hanya menjadi simbol kearifan lokal, tetapi menjadi pembelajaran pemerintah dan pemangku kebijakan dalam menetapkan kebijakan publik yang berbudaya dan beretika.
Bila ingin mengunjungi dan belajar kearifan lokal, maka bisa datang ke Kampung Naga. Dari Jakarta bisa lewat Garut, lalu ke Singaparna, Tasikmalaya. Adapun jika menggunakan kendaraan umum dari Jakarta, bisa naik bis Karunia Bakti, Jakarta-Garut, dan minta berhenti di Kampung Naga. Memasuki kampung ini tidak dipungut biaya, tetapi bagi yang membawa kendaraan pribadi seperti mobil, biaya parkir dikenai harga Rp.10.000, plus biaya asuransi jiwa. Selamat berwisata, dan mencintai budaya. Merdeka!!!


Penulis: Yulia Rahmawati




 

0 komentar:

Posting Komentar