Berikut
adalah cerita pengalaman liburan dari salah pemenang kompetisi menulis IWITA “Abadikan Saat Indah”
-capture the
moment, the value of experience and the best way to see the beauty of Indonesia-
Bernama Yulia
Rahmawati dengan judul tulisan Kampung Naga dalam Menjaga Hutan
Kampung Naga dalam Menjaga Hutan
Saya sendiri mendengar Kampung Naga
sudah lama, kampung yang menghadirkan tradisi yang menghormati alam dan
lingkungan. Kehidupan masyarakat yang sangat mengikuti tradisi dan adat Sunda.
Perjalanan ke Kampung Naga sangatlah mudah, karena letaknya dekat jalan raya
kabupaten. Minggu
lalu saya berkesempatan mengunjungi kampung ini, kami naik kendaraan pribadi
dari arah Tasikmalaya. Dari arah Singaparna, ibukota Kabupaten Tasikmalaya,
kami menuju Salawu. Kampung ini ditandai dengan gerbang kampung yang
bertuliskan Kampung Naga. Kami langsung menuju tempat parkir, tidak berapa lama
datang pemandu wisata yang menawarkan pilihan berjalan keliling sendiri atau
menggunakan guide.
Untuk jalan sendiri, pemandu mengatakan bahwa ada hal-hal yang tidak
diperbolehkan ketika berada di dalam kampung, yaitu memotret Imah Gede. Imah
Gede adalah rumah atau tempat berkumpulnya para pemuka adat bila ada perayaan
adat. Dalam setahun, ada 6 kali perayaan adat. Tempat pusat perayaan tersebut
berada di Imah Gede. Mendengar penjelasan dari pemandu, maka kami memilihnya
untuk memandu kami. Maka, dia pun memberi penjelasan dari mulai tugu kujang
yang berada di tempat parkiran.
Kujang tersebut sudah berumur lama, dan satu dari seratus kujang yang ada.
Kujang ini dibersihkan di Keraton Mataram. Awalnya, kujang ini akan disimpan di
dalam kampung, namun ketua adat tidak mengijinkannya, maka kujang tersebut
berada di dekat gerbang luar kampung. Berdiri tegak sebagai pusaka sejarah,
menyambut para wisatawan yang datang ke kampung ini. Berjejer toko-toko
souvenir dan makanan di pinggir parkiran.Kami masih berada di luar wilayah kampung adat, karena untuk menuju ke sana
harus melalui 400 lebih tangga. Iya, Kampung Naga ini berada di dalam lembah.
Dengan sungai Ciwulan yang mengalir, melingkari hutan larangan dan hutan
keramat. Hamparan sawah terairi dari selokan yang airnya mengalir deras
meskipun musim kemarau.
Setelah menuruni 400 lebih tangga, kami disuguhi hamparan sawah yang sedang
hijau. Padi yang tumbuh tinggi adalah padi organik, sedangkan yang masih kecil
adalah padi berpupuk orea. Luas kampung adat ini tidak berubah. Dan setiap
penduduk kampung mengetahui batas tanahnya, tanpa meski ada patok atau tanggul
tanda batas tanah. Saling percaya dan kerjasama ini merupakan ciri khas dari
Kampung Naga.
Kampung ini memiliki dua hutan, yaitu hutan keramat dan hutan larangan.
Hutan keramat merupakan hutan yang bila masuk ke dalamnya atas ijin ketua
kampung. Di dalamnya ada banyak kuburan leluhur kampung. Adapun hutan larangan,
sama sekali tidak ada yang bisa masuk, sekalipun ketua adat harus dengan syarat
tertentu. Hutan larangan ini menjadi hutan yang terjaga dari tangan manusia.
Ranting yang jatuh pun tidak boleh diambil, apalagi dipatahkan.
Ada satu hal yang menjadi penetapan keterjagaan lingkungan alam Kampung Naga
adalah kepatuhan pada adat. Pamali, adalah kata yang sakral dan tidak boleh
dilakukan oleh siapa pun. Sekali pamali, maka tidak boleh dilakukan. Pelarangan
atau pamali ini lahir secara turun temurun menjadi kesadaran warga untuk
menjaga lingkungan.
Kesadaran dan kearifan lokal yang terus dijaga dalam menegakkan berdirinya
pohon-pohon pada tempatnya. Pernah ada yang mematahkan ranting hutan larangan
yang jatuh ke luar area hutan, dia menderita dan sakit. Bukan penduduk kampung
yang menghukum pelanggar norma adat, tetapi perbuatan orang tersebut yang
menyebabkan orang tersebut mendapatkan musibah. Demikian kata pemandu ketika
kami menelisik akan orang yang melanggar ketetapan adat. Ketika tradisi sudah
menjadi asing, kebiasaan menjaga alam menjadi sudah tidak ada, maka kehidupan
berkearifan budaya dalam menjaga alam dan lingkungan menjadi aneh dan tontonan.
Ketika kajian budaya hanya menjadi wacana, kehidupan warga pun tetap
tergerus oleh arus globalisasi zaman. Pembelajaran dan pemberdayaan lingkungan
alam, semoga bukan hanya menjadi simbol kearifan lokal, tetapi menjadi
pembelajaran pemerintah dan pemangku kebijakan dalam menetapkan kebijakan
publik yang berbudaya dan beretika.
Bila ingin mengunjungi dan belajar kearifan lokal, maka bisa datang ke
Kampung Naga. Dari Jakarta bisa lewat Garut, lalu ke Singaparna, Tasikmalaya.
Adapun jika menggunakan kendaraan umum dari Jakarta, bisa naik bis Karunia
Bakti, Jakarta-Garut, dan minta berhenti di Kampung Naga. Memasuki kampung ini
tidak dipungut biaya, tetapi bagi yang membawa kendaraan pribadi seperti mobil,
biaya parkir dikenai harga Rp.10.000,
plus biaya asuransi jiwa. Selamat berwisata, dan mencintai budaya. Merdeka!!!
0 komentar:
Posting Komentar